Andai Saja Ada KPK Unit Sepak Bola
YA, andai saja lembaga itu membidik pula dinamika sepakbola nasional, bisnis miliaran rupiah dalam kemasan kompetisi yang melibatkan banyak klub mungkin akan terjaga kredibilitasnya. Kompetisi ini bakal lurus, bila pun ada gejolak rasanya bisa diselesaikan melalui koridor yang terang.
Ada penindakan yang ditujukan untuk membuat jera, tapi ada pula langkah pencegahan termasuk peningkatan pelayanan melalui supervisi dari lembaga tersebut bagi perbaikan kualitas kompetisi. Semuanya demi menjaga keseimbangan liga dari paparan hawa negatif.
Sayangnya, otoritas pengelola liga tidaklah masuk sebagai kelompok penyelenggara negara, mereka juga bukan BUMN. Karenanya, gembar-gembor pembenahan atas kompetisi sepakbola nasional yang sepertinya dilakukan secara internal tidak pernah menemukan gaung yang menggetarkan.
Bukalah mesin pencari di internet macam google, dan masukan kalimat yang berisi kekecewaan klub terhadap wasit sebagai petunjuk. Sekelebat saja, data soal itu segera tersaji. Data yang seharusnya bisa menjadi perenungan bersama.
Contoh terdekat adalah dua penalti yang mewarnai partai Deltras vs Persibo di babak “8 Besar Divisi Utama” pada Minggu (23/5) lalu. Sebelum itu, simak juga eskpresi kekecewaan kubu Persija atas kontroversi penalti yang diberikan pada tuan rumah, Persik dalam lanjutan Djarum ISL Rabu (31/3) lalu. Semuanya diakhiri dengan nada protes, keras tentu termasuk makian.
Mungkin itu hanya sejumlah kasus saja. Tapi itu cukup menggambarkan betapa kompetisi negeri ini tidak berjalan sehat. Toh, fenomena serupa terjadi pula di musim-musim sebelumnya sehingga mirip lingkaran setan. Tak pernah tahu akan berujung di mana, kecuali sinyal prestasi Indonesia di gelanggang dunia yang terus terpuruk.
Kondisi tersebut juga seolah menjadi pembenaran atas obrolan dengan seorang pelatih di kancah liga super tempo hari. Partai-partai menjelang liga berakhir, katanya, memang harus diwaspadai. Itu semua terdorong oleh banyaknya kepentingan yang bermain. Klub bisa berpotensi dihabisi, tapi dapat juga mendapat pertolongan.
Atmosfir saat itu, menjelang liga tuntas adalah arena pacu menuju juara dan ada juga yang ingin lepas dari jerat dari degradasi bagi klub-klub yang berpartisipasi. Persaingan ketat menjadi lumrah, termasuk kemungkinan klub menjadi kalap.
Menandainya sepertinya juga tidak sulit. Akan muncul keputusan aneh yang dimunculkan dalam sebuah pertandingan. Di antara sekian modus, penalti terkesan menjadi alat favorit. Rumus sepakbola juga mendukungnya sebagai peluang dengan 99,9 persen berbuah gol saat dieksekusi. Nilai tawar penalti jelas sangat tinggi, dan menggiurkan.
Pengadilan Tipikor Adakah suap atau gratifikasi di balik itu semua, ini yang seharusnya menjadi kewenangan KPK unit sepakbola. Imajinasi pun bergulir, lintas komunikasi di antara mereka sebagai pelaku disadap. Dalam sebuah moment, alat-alat bukti yang ada kemudian dijadikan dasar bagi penangkapan pelaku yang terlibat.
Sampai kemudian, mereka diajukan ke Pengadilan Tipikor Sepakbola dengan vonis yang membuat kapok. Pesan yang jelas itu lalu ditangkap sebagai sebuah keseriusan dan membentuk etos yang unggul.
Laporan harta kekayaan pelaku kompetisi juga, tak hanya wasit wajib dilaporkan untuk mengetahui pergerakan kekayaan selama mengikuti kompetisi yang syarat kepentingan. Di saat yang sama, KPK Unit Sepakbola melakukan supervisi bagi pengelolaan berkompetisi secara sehat kepada klub dan otoritas sepakbola.
Semuanya untuk kebaikan kompetisi sepakbola nasional di antara semua tingkatan. Tapi ya ndilalah, ini adalah mimpi di siang bolong yang mirip-mirip dengan bunga tidur yang menginginkan Timnas Indonesia lolos ke ajang Piala Dunia. Sulit untuk diwujudkan dan lebih banyak makan hatinya. Ya, andai saja ada lembaga semacam KPK yang beraksi di tubuh sepakbola kita. (Setiady Dwie-28) Sumber : Suara Merdeka, Sabtu 29 Mei 2010
Ada penindakan yang ditujukan untuk membuat jera, tapi ada pula langkah pencegahan termasuk peningkatan pelayanan melalui supervisi dari lembaga tersebut bagi perbaikan kualitas kompetisi. Semuanya demi menjaga keseimbangan liga dari paparan hawa negatif.
Sayangnya, otoritas pengelola liga tidaklah masuk sebagai kelompok penyelenggara negara, mereka juga bukan BUMN. Karenanya, gembar-gembor pembenahan atas kompetisi sepakbola nasional yang sepertinya dilakukan secara internal tidak pernah menemukan gaung yang menggetarkan.
Bukalah mesin pencari di internet macam google, dan masukan kalimat yang berisi kekecewaan klub terhadap wasit sebagai petunjuk. Sekelebat saja, data soal itu segera tersaji. Data yang seharusnya bisa menjadi perenungan bersama.
Contoh terdekat adalah dua penalti yang mewarnai partai Deltras vs Persibo di babak “8 Besar Divisi Utama” pada Minggu (23/5) lalu. Sebelum itu, simak juga eskpresi kekecewaan kubu Persija atas kontroversi penalti yang diberikan pada tuan rumah, Persik dalam lanjutan Djarum ISL Rabu (31/3) lalu. Semuanya diakhiri dengan nada protes, keras tentu termasuk makian.
Mungkin itu hanya sejumlah kasus saja. Tapi itu cukup menggambarkan betapa kompetisi negeri ini tidak berjalan sehat. Toh, fenomena serupa terjadi pula di musim-musim sebelumnya sehingga mirip lingkaran setan. Tak pernah tahu akan berujung di mana, kecuali sinyal prestasi Indonesia di gelanggang dunia yang terus terpuruk.
Kondisi tersebut juga seolah menjadi pembenaran atas obrolan dengan seorang pelatih di kancah liga super tempo hari. Partai-partai menjelang liga berakhir, katanya, memang harus diwaspadai. Itu semua terdorong oleh banyaknya kepentingan yang bermain. Klub bisa berpotensi dihabisi, tapi dapat juga mendapat pertolongan.
Atmosfir saat itu, menjelang liga tuntas adalah arena pacu menuju juara dan ada juga yang ingin lepas dari jerat dari degradasi bagi klub-klub yang berpartisipasi. Persaingan ketat menjadi lumrah, termasuk kemungkinan klub menjadi kalap.
Menandainya sepertinya juga tidak sulit. Akan muncul keputusan aneh yang dimunculkan dalam sebuah pertandingan. Di antara sekian modus, penalti terkesan menjadi alat favorit. Rumus sepakbola juga mendukungnya sebagai peluang dengan 99,9 persen berbuah gol saat dieksekusi. Nilai tawar penalti jelas sangat tinggi, dan menggiurkan.
Pengadilan Tipikor Adakah suap atau gratifikasi di balik itu semua, ini yang seharusnya menjadi kewenangan KPK unit sepakbola. Imajinasi pun bergulir, lintas komunikasi di antara mereka sebagai pelaku disadap. Dalam sebuah moment, alat-alat bukti yang ada kemudian dijadikan dasar bagi penangkapan pelaku yang terlibat.
Sampai kemudian, mereka diajukan ke Pengadilan Tipikor Sepakbola dengan vonis yang membuat kapok. Pesan yang jelas itu lalu ditangkap sebagai sebuah keseriusan dan membentuk etos yang unggul.
Laporan harta kekayaan pelaku kompetisi juga, tak hanya wasit wajib dilaporkan untuk mengetahui pergerakan kekayaan selama mengikuti kompetisi yang syarat kepentingan. Di saat yang sama, KPK Unit Sepakbola melakukan supervisi bagi pengelolaan berkompetisi secara sehat kepada klub dan otoritas sepakbola.
Semuanya untuk kebaikan kompetisi sepakbola nasional di antara semua tingkatan. Tapi ya ndilalah, ini adalah mimpi di siang bolong yang mirip-mirip dengan bunga tidur yang menginginkan Timnas Indonesia lolos ke ajang Piala Dunia. Sulit untuk diwujudkan dan lebih banyak makan hatinya. Ya, andai saja ada lembaga semacam KPK yang beraksi di tubuh sepakbola kita. (Setiady Dwie-28) Sumber : Suara Merdeka, Sabtu 29 Mei 2010
No comments:
Post a Comment